Sabtu, 26 Desember 2015

Perbandingan Berinteraksi Dengan Murid2 S3 dari Asia dan Amrik

Oleh: Zapheeker Sina Otto

Pengalaman ku mendidik murid2 S3 yang berasal dari Amrik sangat berbeda dengan murid berasal dari foreign countries atau Asia (China, India, Thailand, dan Indonesia). Murid dari Amrik walaupun secara "on paper" tidak kelihatan cemerlang, tetapi kalau diberikan tugas "research" mereka langsung bisa meng-organisasi-kan pikiran dan tujuan research mereka. Sebaliknya, murid dari foreign (China, India, Indonesia, Asian countries) biarpun diatas kertas dia "cemerlang,” kalau disuruh "berdikari" dia bengong-bengong dan pengen mendapat kan petunjuk dari kami (advisor-nya) setiap hari. Kayaknya murid2 ini pengen di tenteng tangan-nya terus-menerus dan tak berani melangkah dan mengambil keputusan. Mereka sebagai penurut bukan leader.

Murid2 dari Amrik, kalau experiment nya tak berhasil, dia langsung datang ke kami dan langsung mendiskusikan kegagalan-nya tanpa malu-malu dan dia langsung menerangkan kenapa menurut pendapat dia experiment ini tak berhasil. Biasanya dia memberikan beberapa potensial solusi2 yang mungkin bisa mengatasi problem2 yang dihadapi-nya. Murid dari Asia, kalau mereka experiment-nya tak berhasil, mereka malu dan tak berani datang berdiskusi. Jadi sebagai advisor, lebih sukar bagi kita untuk membantu mereka karena ke gagalan-nya selalu di sembunyikan; mereka takut di "cap" sebagai orang bodoh. Padahal menurut kami, kegagalan riset itu biasa2 saja.

Menurut opini-ku, murid2 ini merasa hidupnya selalu dalam suasana ujian; jadi takut gagal karena sudah terbiasa dengan kata2 "Jangan2..nanti..kamu..salah". Kesukaan murid2 dari Asia untuk diatur orang lain sangat jelas dan membudaya. Jadi sebagai advisor, kami harus bekerja keras untuk merobah pola pikir murid2 kami yang dari Asia ini.

Biasanya murid kami yang dari Asia suka menghafal walaupun mereka tak mengerti apa dasar2 atau asal-usul dari ilmu yang di-hafal. Biasanya saya bisa tebak langsung apa murid S3 ku (yang baru gabung group kami) tipe peng-hafal atau dia peng-ngerti (tidak peng-hafal). Secara singkat, biasanya di group meeting mingguan, murid2 memberikan presentasi hasil research mingguan. Kalau si peng-hafal ditanya pertanyaan yang sedikit mendalam ataupun melenceng dari yang di presentasi-kan nya, dia langsung bingung. Sebaliknya, si pengerti selalu kembali ke dasar ilmu dan meng-konstruksi-kan jawaban-nya berdasarkan pengalaman-nya dan ilmu2 dasar yang dia tau atau pernah baca. Kesimpulan-nya, si peng-hafal biasanya tak bisa mensynthesa apa yang sudah dihafalkan; sebalik-nya, si peng-ngerti selalu kembali ke dasar2 ilmu nya untuk menjawab pertanyaan kita. Jadi walaupun si "peng-ngerti" tak tau pasti apa jawaban yang benar, dia bisa mencoba men-synthesa jawaban-nya berdasarkan ilmu yang dia ketahui dan pengalaman-nya. Bisanys si pengerti tidak serba "Bull.S....t" atau BS. Biasa-nya si penghafal selalu "BS" kalau tak bisa menjawab; karena dia takut di bilang bodoh. Sebaliknya si peng-ngerti kalau benar2 mentok, bilang "I don't know the answer to the question and I will find out next time," tanpa "BS" atau "Sok Tau".

Kata kunci “well-rounded” yang penting di perhatikan dan ditekankan dalam pendidikan di Indonesia secara general. Terkadang di Indonesia, orang sangat terlena hanya dengan prestasi di kelas dan hanya mem-fokuskan ke sciences dan mathematika. Kita lupa bahwa “in real life” interaksi dengan disiplin2 lain sangat penting untuk kita bisa sukses. Jadi murid kita tidak hanya “expert” dalam bidang yang dia kejar, tetapi juga tahu sedikit-banyak (atau mengerti) seluk-beluk tentang bidang2 lain. Karena kalau kita kerja dimana-pun, kita butuh ber-interaksi dengan bidang2 lain, supaya projek kita bisa sukses. Kalau projek kita sukses, kita-pun sukses. Jadi yang disebutkan sebagai “Jurusan Primadona” ini tidak “relevant” lagi. 

Opiniku, “Students should have depth in their specific field and have “breath” in other fields.” Untuk sukses di “real world” murid ini harus punya interpersonal skills yang disokong dengan “oral” and “written” communication skills. Menurut pengalaman-ku, banyak kutemu-kan orang2 pintar tapi mereka ini tak sukses karena tak punya “interpersonal skills” dan mereka sukar bekerja sama dengan orang lain. Jadi mereka ini berondok di “Pigeon Hole” mereka dan bisa berinteraski dengan orang lain.

Seperti yang ku-sebutkan diatas, interpersonal skill dari guru dan murid bisa menyokong ke-bebasan murid ber-diskusi untuk membahas topik2 yang mereka geluti. Biasanya institusi atau department yang sukses, mereka mengadaptasi sifat ke-keluargaan dalam operasi sehari-harinya.

Inilah sedikit pengalaman ku sebagai advisor murid2 dari berbagai penjuru dunia. Untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, opiniku system pendidikan harus dirubah supaya tidak lagi menekankan hafalan tapi mendidik murid untuk mengerti dan menhayati apa yang di pelajari mereka. Kebiasaan takut salah harus di rubah sehingga kreatifitas murid lebih berkembang.

Salam damai dan sejahtera!

v.v
Grandfunk Railroad: Freedom is for Children
.