Jumat, 30 Oktober 2015

Bah….Bukan Orang Batak Saja, Orang Amrik-pun Punya Logat!!


Oleh: Zepheeker Sina Otto


Setiap hari jumat pagi, semua “Teaching Assistant (TA)” ber-kumpul untuk mendikusi-kan experiment yang akan dilakukan minggu depan dan pengalaman2 laboratori yang kemungkinan bisa membuat murid kesulitan melakukan experiment mereka. Koordinator semua laboratory ini adalah Dr. Steve B (SB). Kalau menurut orang Amrik, SB is an Interesting Character (translasi bebas: Steve B adalah orang yang unik atau eksentik). Steve adalah orang putih (Caucasian) yang tinggi dan besar yang berumur sekitar 40-an dan berambut panjang yang ditocang sampai dibawah pundak dan jenggot-nya pun panjang.  Penampilan Steve sehari-hari seperti pemain gitar dari “ZZ Top” dengan T-shirt hitam, denim jeans, Western bolero ties, cowboy hat, dan cowboy boots. Walaupun penampilan-nya yang sangat sangar, secara individu Steve sangat professional dan selalu siap membantu kami2 bawahan-nya sebagai TA. Waktu itu, aku satu group diskusi dengan Jim W dan Wes McC (dipanggil “Wes”) yang di pimpin oleh Steve


Gambar 1. Salah satu pemandangan di taman seorang Farmer di Midwest


Jim adalah teman baik ku di laboratory Professor RBB. Kami berdua melakukan riset dibawah superfisi Prof. RBB dengan tujuan jangka panjang riset kami yang sama tetapi berbeda tujuan jangka pendek dan pendekatan. Prof. RBB ingin membuktikan “Hipothesa” unggulan-nya dengan beberapa cara dan kami berdua sebagai orang2 yang mengetest hypothesa tersebut. Jadi, aku dan Jim selalu berdiskusi tentang  kami. Karena Jim adalah senior-ku (dua tahun diatas-ku), dia secara tak langsung menjadi “mentor-ku” di laboratory dan dia juga menjadi sahabatku se-hari2. Aku selalu bertanya tentang laboratori techniques ke Jim.

Jim adalah orang putih yang berbadan tinggi dan kekar dengan mata biru dan rambut pirang-keriting yang panjang-nya sebahu dan mukanya didekorasi dengan kumis Fumanchu. Karena kami selalu jalan2 kemana-mana ber-dua kalau ada acara2 ekstrakurikuler di departemen Kimia, kami berdua kelihatan seperti David dan Goliath yang jalan bersama. Teman2 graduate students dari jurusan kami selalu bercanda menamakan kami dua sebagai “The Giant and the Troll”; Jim sebagai the “Giant” dan aku sebagai the “Troll.” Karena kami bersahabat, aku sering di undang oleh Jim dan Istri-nya makan malam di apartemen mereka sebelum kami kembali ke laboratori melakukan riset sampai tengah malam. Sampai sekarang kalau aku ke Negara Bagian dimana Jim berada, aku pasti menemui Jim di universitas dia bekerja.

Kembali ke “weekly meeting” dari TA, aku sangat binun alias bengang-bengong tak megerti kalau kawan kami Wes berbicara untuk mendiskusikan tentang laboratori prosedur yang akan kami lakukan minggu depan. Kalau dia berbicara, telinga-ku mendengar kata2nya seperti ucapan orang yang ber-kumur-kumur. Kupikir, aku rupanya masih perlu lagi belajar banyak tentang bahasa inggris. Hampir sebagian besar dari presentasi si Wes aku nggak mengerti, rasanya aku mendengar suara tawon yang mendengung ditelinga ku. Karena Jim duduk di sebelah ku, aku berbisik kedia, “Jim, aku nggak ngerti sama sekali dengan kata2 sama yang diucapkan si Wes.” Kemudian Jim berbisik menjawab, “Jab, bukan hanya kamu yang sulit mengerti ucapan si Wes. Dia mempunyai “Logat Southern”. Mendengar ucapan Jim, akupun agak terhibur sedikit karena agak sukar rasanya (sedikit frustrasi ke diri sendiri) mendengar seseorang berbicara tapi kita nggak ngerti apa yang diperbincangkan-nya.

Setelah petemuan selesai, Jim dan aku kembali ke laboratori kami. Ku bilang ke Jim, “Kukira karena aku orang Indonesia dan bahasa Inggris ku nggak becus, aku nggak ngerti apa yang Wes ucapkan.”

Kemudian Jim berkata, “Jab, akupun sukar mengerti apa yang diucapkan Wes karena dia mempunyai logat Southern (Orang Selatan) yang sangat kental. Aku lebih gampang mengerti kata2 yang kau ucapkan dari yang diucapkan oleh Wes. Kita harus membiasakan mendengar logat si Wes supaya kita bisa mengerti apa yang dia katakan." Wes adalah orang yang berasal dari Negara Bagian Alabama di Selatan Amrik yang mempunyai logat kental; kalau kata orang Amrik, “He is a southern man with a southern drawl.”

Jim kemudian menjelaskan bahwa di Amrik banyak logat berbicara yang ber-beda2 tergantung asal-usul dari bagian Eropah mana nenek moyang mereka datang. Ada logat berbicara seperti New England accent dari Massachusetts seperti John F. Kennedy. Ada logat Southern Drawl dari Louisiana, Alabama, Texas. Ada pula logat New Yorker yang kayak orang Batak yang ceplas ceplos dan straight-to-the-point. Di tengah2 Amrik ada yang disebut logat Midwestern di sekitar negara bagian Missouri, Kansas, Nebraska dan Oklahoma. Ada logat dari Minnesota dan Wisconsin yang dipengaruhi oleh logat German dan Swedish. Ada logat2 yang gampang di mengerti dan ada yang sukar di mengerti. Aku-pun menerangkan ke Jim bahwa di Indonesia pun ada logat Batak yang kasar dan logat Jawa Tengah yang halus. Jim tersenyum dan berkata, “Perbedaan membuat hidup ini menarik. Bukankah Demikian?” Satu kalimat dari Jim ini memperluas wawasan-ku.

Setelah beberapa bulan berlalu, aku pun terbiasa mendengar logat si Wes dan mengerti semua apa yang dia perbincangkan-nya. Rupanya, dengan sedikit berusaha aku pun bisa mengadaptasi untuk mendengar dan mengerti ucapan2 si Wes. Aku tak harus memaksa si Wes untuk merubah logat-nya. Aku tak pernah lupa dengan ucapan si Jim, “Perbedaan membuat hidup ini menarik. Bukankah Demikian?” Bah, biarlah kupake terus logat Batak-ku, akupun tak perlu takut. I am who I am!!

Salam Sejahtera!!

v.v

Rabu, 28 Oktober 2015

Malu Bertanya Akan Sesat Di Jalankah?



Oleh: Zaphekeer Sina Otto


Aku tergugah membaca sebuah artikle dari seorang murid di Indonesia yang menulis bahwa dosen-nya meninggalkan ruangan kuliah setelah salah seorang murid bertanya tentang perbedaan kelas yang diajarkan-nya dengan kelas lain. Bukankah ada pepatah mengatakan “Malu Bertanya Sesat Di Jalan” Aku berpikir, dalam konteks ruang kuliah, “Is there any question as a stupid question?” (Apakah ada pertanyaan yang goblok?).


Gambar 1. Suasana taman disekitar University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Aku juga teringat waktu masih mahasiswa S1 dulu di Jakarta, aku selalu takut untuk bertanya karena merasa takut dibilang bodoh oleh para dosen-ku. Acap kali (Note: Nggak Semua Dosen Lho!!), sang Dosen suka marah2 ke murid (alias “Defensive”) kalo dia harus menjawab pertanyaan-nya nggak di sukai-nya. Karena takut nggak lulus, aku selalu ber-hati2 kalo berhadapan dengan Dosen “Killer” yang selalu sangar, sempurna, dan tak pernah bisa salah. Tak jarang terdengar ucapan dari Dosen “Killer” dengan nada sebagai berikut, “Kalian hanya bisa dapat angka 7, saya sebagai Dosen hanya bisa maximum dapat angka 8, Malikat maximum dapat angka 9, dan hanya Tuhan yang bisa dapat angka 10.” ……Seram kali Bah!


Gambar 2. Gedung Fakultas Sains di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.



Gambar 3. Lorong di Institute Biologi, University of Campinas (UNICAMP), Brazil.


Mengingat balik, aku hanya bisa tersenyum-senyum berfikir kenapa yah Dosen bisa2nya megucapkan kata2 seperti itu? Memang kami murid2nya bukan orang sempurna, tapi Dosen-pun kan sama juga dia juga nggak ada yang sempurna.


Gambar 4. Taman di tempat penginapan pengajar tamu di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Pada semester pertama di program pasca sarjana di US, aku juga selalu bungkem dan takut bertanya karena takut salah. Tapi heran, Professor2 kami selalu sabar menjawab semua pertanyaan teman sekelas walaupun pertanyaan-nya sangat mendasar atau kelihatan-nya seperti petanyaan yang sangat dangkal. Para pengajar ini tak pernah tak mau menjawab pertanyaan dan juga tidak pernah menunjukkan nada meremeh-kan (“condescending”) ke murid-nya.



Gambar 5. Kolam renang di tempat penginapan pengajar tamu di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Rupanya, pertanyaan tersebut men-stimulasi Professor itu untuk berpikir dan menjawab secara systematis supaya murid-nya nggak sesat di jalan belajar-nya. Akupun merasa malu dalam hati karena sudah menghakimi teman sekelas-ku yang ku anggap bertanya pertanyaan-nya yang sangat dangkal. Lambat laun, aku baru mengerti apa hakekat untuk bertanya dan belajar mengkostruksi sebuah pertanyaan yang baik (How to ask a good question). “How to ask the right or good question” adalah sesuatu yang kelihatan-nya gampang tapi sebenar-nya sukar dilakukan.

Karena sudah menghakimi teman sekelas (dalam hati), aku sadar dan mengingat nasehat mentor-ku, “In this life, don’t assume anything, get the facts straight!” (“Dalam hidup ini, jangan selalu membuat assumsi (ber-andai2), cari fakta2-nya yang benar dan lurus!”). Kejadian2 ini sudah menebas keangkuhan-ku waktu itu dan mencoba kedepan supaya bisa berpikir lebih jernih and kritis.


Gambar 6. Pemandangan ke arah universitas dari tempat penginapan pengajar tamu di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Suatu hari, teman sekelas bertanya ke Professor kami; sang Professor rupanya nggak tau jawaban dari pertanyaan ini.  Setelah berfikir sejenak, Professor kami menjawab, “I have never thought of that question. I don’t know the answer to your question. I will find out the answer for you next time we meet.” (“Saya belum pernah mikirin jawaban pertanyaan anda itu. Saya nggak bisa menjawab pertanyaan anda saat ini. Nanti saya cari jawaban-nya dan akan saya jabarkan ke anda semua pada waktu kita ketemu lagi nanti.”). Dalam hatiku, “Bah….…Professor kok berani-berani bilang nggak tau jawaban pertanyaan murid-nya. Apa dia nggak takut dia nanti dia dibilang nggak becus sama murid2-nya!!”

Setelah kami bertemu lagi, Professor kami membagikan sebuah artikel kesemua murid2 dikelas; kemudian, dia menjawab pertanyaan murid yang belum di jawab-nya. Dia menjabarkan semua fakta2 yang mensupport jawaban-nya. Artikel yang dibagikan ke kami adalah salah satu artikle yang menjawab pertanyaan murid tersebut.  Lagi2 alasan-nya, Professor ini nggak mau sembarangan menjawab pertanyaan murid-nya (Istilah di Amrik, “He/She does not want to wing it!” atau “Nggak mau asal jawab!”) karena dia tidak mau menyesatkan murid2-nya dalam menggali ilmu.  Yang jelas, kami se-kelas (termasuk Professor kami) belajar hal baru yang asal-muasal-nya dari pertanyaan seorang murid.

Sebagai manusia sudah lumrah kalau aku selalu membanding2kan diri dengan orang lain. Mungkin, ini karena aku ingin mengangap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Atau, aku secara jujur pengen belajar dari orang yang lebih baik tersebut.  Tapi yang tak bisa kupungkiri, teman2 sekelas orang Amrik rupanya sudah terlatih dari kecil bahwa mereka tak takut bertanya dan tak takut diketawaiin kalau pertanyaan mereka dianggap dangkal. Mereka nggak takut dicap dengan, “Huh…What a stupid question? (Huh…Itu petanyaan yang begok?).” Ini disebabkan para Guru selalu ber-prinsip, “There is no question is a stupid question” (Nggak ada pertanyaan yang di kategorikan sebagai petanyaan begok). Alasan-nya, seorang Murid, Guru, Dosen, dan Professor adalah manusia biasa2 dan tak mungkin dia mengetahui segala-gala-nya. Untuk mendapat jawaban yang se-akurat mungkin, seseorang harus ber-hati2 menjawab pertanyaan dengan melihat fakta2 yang ada.

Mengingat kembali ke-angkuhan-ku waktu sebagai pelajar, aku hanya bisa tersenyum-senyum sadar. Banyak keangkuhan2-ku yang sudah ditebas sejajar dengan tanah oleh pengalaman dan waktu. Aku sadar bahwa, aku sebagai murid dan pengajar bukan orang yang sempurna. Yang jelas sekarang setelah menjadi orang yang tugas-nya sebagai pendidik/pengajar, aku selalu berusaha untuk melatih dan mendidik murid2-ku untuk bisa menanyakan pertanyaan yang tepat dan jitu alias “How to ask the right or good question!”  Aku mencoba mendidik mereka untuk selalu mengecek semua jawaban2 mereka dengan fakta2 yang ada (Get the Fact Straight!! and “Don’t Just Wing It! (kayak politician)”).  

Yang pasti, aku sendiri masih percaya dengan pepatah yang kudengar waktu SD, “Malu Bertanya Sesat Di Jalan!”

Salam Sejahtera dan Damai!

v.v