Pengalaman
ku mendidik murid2 S3 yang berasal dari Amrik sangat berbeda dengan murid
berasal dari foreign countries atau Asia (China, India, Thailand, dan
Indonesia). Murid dari Amrik walaupun secara "on paper" tidak
kelihatan cemerlang, tetapi kalau diberikan tugas "research" mereka
langsung bisa meng-organisasi-kan pikiran dan tujuan research mereka.
Sebaliknya, murid dari foreign (China, India, Indonesia, Asian countries) biarpun
diatas kertas dia "cemerlang,” kalau disuruh "berdikari" dia
bengong-bengong dan pengen mendapat kan petunjuk dari kami (advisor-nya)
setiap hari. Kayaknya murid2 ini pengen di tenteng tangan-nya
terus-menerus dan tak berani melangkah dan mengambil keputusan. Mereka sebagai
penurut bukan leader.
Murid2
dari Amrik, kalau experiment nya tak berhasil, dia langsung datang ke kami dan
langsung mendiskusikan kegagalan-nya tanpa malu-malu dan dia langsung
menerangkan kenapa menurut pendapat dia experiment ini tak berhasil. Biasanya
dia memberikan beberapa potensial solusi2 yang mungkin bisa mengatasi problem2
yang dihadapi-nya. Murid dari Asia, kalau mereka experiment-nya tak berhasil, mereka
malu dan tak berani datang berdiskusi. Jadi sebagai advisor, lebih sukar bagi
kita untuk membantu mereka karena ke gagalan-nya selalu di sembunyikan; mereka
takut di "cap" sebagai orang bodoh. Padahal menurut kami, kegagalan
riset itu biasa2 saja.
Menurut
opini-ku, murid2 ini merasa hidupnya selalu dalam suasana ujian; jadi takut
gagal karena sudah terbiasa dengan kata2 "Jangan2..nanti..kamu..salah".
Kesukaan murid2 dari Asia untuk diatur orang lain sangat jelas dan membudaya.
Jadi sebagai advisor, kami harus bekerja keras untuk merobah pola pikir
murid2 kami yang dari Asia ini.
Biasanya murid kami yang dari Asia suka menghafal walaupun mereka
tak mengerti apa dasar2 atau asal-usul dari ilmu yang di-hafal.
Biasanya saya bisa tebak langsung apa murid S3 ku (yang baru gabung group
kami) tipe peng-hafal atau dia peng-ngerti (tidak peng-hafal). Secara singkat,
biasanya di group meeting mingguan, murid2 memberikan presentasi hasil research
mingguan. Kalau si peng-hafal ditanya pertanyaan yang sedikit mendalam ataupun
melenceng dari yang di presentasi-kan nya, dia langsung bingung.
Sebaliknya, si pengerti selalu kembali ke dasar ilmu dan meng-konstruksi-kan
jawaban-nya berdasarkan pengalaman-nya dan ilmu2 dasar yang dia tau atau pernah
baca. Kesimpulan-nya, si peng-hafal biasanya tak bisa mensynthesa apa yang
sudah dihafalkan; sebalik-nya, si peng-ngerti selalu kembali ke dasar2 ilmu nya
untuk menjawab pertanyaan kita. Jadi walaupun si
"peng-ngerti" tak tau pasti apa jawaban yang benar, dia bisa mencoba men-synthesa jawaban-nya berdasarkan
ilmu yang dia ketahui dan pengalaman-nya. Bisanys si pengerti tidak serba
"Bull.S....t" atau BS. Biasa-nya si penghafal
selalu "BS" kalau tak bisa menjawab; karena dia takut di bilang
bodoh. Sebaliknya si peng-ngerti kalau benar2 mentok, bilang "I
don't know the answer to the question and I will find out next time,"
tanpa "BS" atau "Sok Tau".
Kata
kunci “well-rounded” yang penting di perhatikan dan ditekankan dalam pendidikan
di Indonesia secara general. Terkadang di Indonesia, orang sangat terlena hanya
dengan prestasi di kelas dan hanya mem-fokuskan ke sciences dan mathematika. Kita
lupa bahwa “in real life” interaksi dengan disiplin2 lain sangat penting untuk
kita bisa sukses. Jadi murid kita tidak hanya “expert” dalam bidang yang dia
kejar, tetapi juga tahu sedikit-banyak (atau mengerti) seluk-beluk tentang
bidang2 lain. Karena kalau kita kerja dimana-pun, kita butuh ber-interaksi
dengan bidang2 lain, supaya projek kita bisa sukses. Kalau projek kita sukses,
kita-pun sukses. Jadi yang disebutkan sebagai “Jurusan Primadona” ini tidak
“relevant” lagi.
Opiniku,
“Students should have depth in their specific field and have “breath” in other
fields.” Untuk sukses di “real world” murid ini harus punya interpersonal
skills yang disokong dengan “oral” and “written” communication skills. Menurut
pengalaman-ku, banyak kutemu-kan orang2 pintar tapi mereka ini tak sukses
karena tak punya “interpersonal skills” dan mereka sukar bekerja sama dengan
orang lain. Jadi mereka ini berondok di “Pigeon Hole” mereka dan bisa berinteraski
dengan orang lain.
Seperti yang
ku-sebutkan diatas, interpersonal skill dari guru dan murid bisa menyokong
ke-bebasan murid ber-diskusi untuk membahas topik2 yang mereka geluti. Biasanya
institusi atau department yang sukses, mereka mengadaptasi sifat ke-keluargaan
dalam operasi sehari-harinya.
Inilah
sedikit pengalaman ku sebagai advisor murid2 dari berbagai penjuru dunia. Untuk
kemajuan pendidikan di Indonesia, opiniku system pendidikan harus dirubah
supaya tidak lagi menekankan hafalan tapi mendidik murid untuk mengerti dan
menhayati apa yang di pelajari mereka. Kebiasaan takut salah harus di rubah
sehingga kreatifitas murid lebih berkembang.
Salam damai
dan sejahtera!
v.v
Grandfunk Railroad: Freedom is for Children
.