Minggu, 15 November 2015

Apakhabar Bang? …Bah… Kok bisa bahasa Indonesia Kau?


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Suatu hari aku berada di Washington DC karena di undangan oleh the National Institutes of Health akrab disebut NIH (baca: En Ai Ech) untuk mengevaluasi Proposal2 Science dari Institusi2 akademis dan research di seluruh US yang bernaung di bidang yang kupahami.  Biasanya, para evaluators (sekitar 15 orang) datang dari berbagai expertise dari institusi yang tersebar di US.  Kami dua hari menginap di Hotel dan bekerja dari Jam 7:30 pagi sampai Jam 6:30 sore untuk membahas sekitar 200 proposal2 yang masuk ke kelompok reviewer kami dari NIH.

Biasanya, setiap proposal diberi 3 evaluators yang disebut Primary, Secondary, dan Tertiary reviewers. Pada hari pertama aku menjadi Primary Reviewer dari sebuah proposal; sebagai Secodary Reviewer adalah Seorang Anak Muda yang kelihatan seperti orang Jepang dan bernama campuran Jepang dan Melayu yang kusebut MT.

Karena banyak orang di Amrik yang berasal-muasal dari berbagai penjuru dunia yang bercampur baur, kami tidak pernah memperhatikan perbedaan Fisik yang kita lihat dan membuat asumsi macam2 tentang seseorang yang kita jumpa. Istilah Zaman doeloe, nggak perduli sama “Hoding-nye” seseorang. Biasanya, kami selalu menghargai satu sama lain tanpa melihat siapa orang ini. Yang penting Anak Muda MT ini sudah di Undang sama NIH untuk mengevaluasi banyak Grant Proposal. Assumsi scientist di Amrik secara general, kalau seseorang sudah di undang sama NIH untuk mengevaluasi proposal, maka orang itu setidak tidak-nya punya isi di otak-nya. Kalau bahasa halus orang Amrik, “He or She has something between the ears.”

Karena aku sering di gabungkan dengan si MT mereview beberapa proposal, aku berasumsi bahwa bidang dia secara garis besar sama dengan aku tapi bidang ke khususan-nya agak berbeda. Asal aku bicara, dia selalu kelihatan senyum-senyum dan aku terkadang berpikir “Apa ada yang salah yang ku ucapkan?” Ternyata, setelah giliran dia berbicara sebagai second reviewer, dia sering setuju dengan apa yang saya ucapkan dalam mereview beberapa proposals. Dalam hatiku, yang penting dia sebagai Secondary Evaluator juga se-pemikiran dengan aku dan evaluasi ku cukup on-the-spot dan nggak ngawur.

Jam 10 pagi, kami ada break selama 30 menit dan anak muda MT ini mendatangi-ku sambil tersenyum untuk memperkenalkan diri. Sambil mengulur tangan dia mengatakan “Apakhabar Bang? Sehat-sehat semua?” Aku mengulur tangan untuk bersalaman sambil berkata, “Bah…. Kok Bisa Bahasa Indonesia Kau?” sambil mengerutkan kening-ku. Dia menjawab, “Ha…ha… Aku kan Anak Medan kayak Abang.”  Ku-ulurkan tangan ku sekali lagi untuk menjabat dia dan sambil mengatakan, “Dek…ceritakan pengalaman-mu, kok bisa sampe ke Amrik dan jadi Associate Professor di Perguruan Tinggi yang canggih disini.”

Akhir2-nya, 30 minute-pun tidak cukup waktu untuk tukar cerita. Malam itu, kami berdua pergi makan malam di salah satu restoran India di dekat Hotel kami. Kami ngobrol2 dari jam 7:00 sampe jam 11:00 malam dengan bertukar cerita dari Sabang sampai Merauke se akan dia adik ku yang sudah lama hilang. Dia menerangkan bahwa orang tua-nya adalah campur-baur Jepang-dan-Indonesia yang tinggal di Medan. Dia berasal dari USU (S1) dan kemudian ke Jepang untuk meraih S3, dan kemudian melakukan Posdoctoral Research di Amrik. Akhir2nya di tawarin sebagai Assistant Professor di Universitas canggih di US. Sewaktu ketemu saya, dia sudah di kukuhkan setahun sebelumnya menjadi Associate Professor dengan Tenure. Aku juga bercerita balik tentang pengalaman ku belajar dan membangun karir di Amrik.

Aku sangat senang melihat bahwa ada satu lagi produk S1 dari Universitas di Indonesia yang bisa berkompetisi menjadi Professor di Universitas di Amrik. Belakangan ini, aku juga sudah ketemu beberapa lagi Associate Professor yang sudah Tenure yang berasal dari Indonesia.

Seperti yang sudah kita ketahui, anak2 muda Indonesia tak kalah canggih dan pintar dibandingkan dengan orang2 yang berasal dari Negara2 Asia lain, seperti Jepang, China, Korea, dan India. Bebarapa decade lalu, hanya orang2 dari Jepang, India, dan China yang mendapat posisi Tenured Professor di Amrik.

Maksud-ku menulis, untuk memberikan semangat/motivasi/stimulasi ke anak2 muda Indonesia yang pengen berkompetisi dan berkarya secara Global. Seperti pepatah yang pernah kudengar di SD Methodist Jalan Hangtuah, Medan, “Kalau ada Kemauan Pasti Ada Jalan.”

That is the Real Truth!!!

Salam Damai dan Sejahtera
v.v

Clarence Bekker & Tara McDonald: What's Up
https://www.youtube.com/watch?v=nIHZovruq7s 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar