Oleh: Zapheeker Sina Otto
Suatu hari aku berada di
Washington DC karena di undangan oleh the National Institutes of Health akrab
disebut NIH (baca: En Ai Ech) untuk mengevaluasi Proposal2 Science dari Institusi2
akademis dan research di seluruh US yang bernaung di bidang yang kupahami. Biasanya, para evaluators (sekitar 15 orang) datang
dari berbagai expertise dari institusi yang tersebar di US. Kami dua hari menginap di Hotel dan bekerja
dari Jam 7:30 pagi sampai Jam 6:30 sore untuk membahas sekitar 200 proposal2
yang masuk ke kelompok reviewer kami dari NIH.
Biasanya, setiap proposal
diberi 3 evaluators yang disebut Primary, Secondary, dan Tertiary reviewers.
Pada hari pertama aku menjadi Primary Reviewer dari sebuah proposal; sebagai
Secodary Reviewer adalah Seorang Anak Muda yang kelihatan seperti orang Jepang
dan bernama campuran Jepang dan Melayu yang kusebut MT.
Karena banyak orang di Amrik
yang berasal-muasal dari berbagai penjuru dunia yang bercampur baur, kami tidak
pernah memperhatikan perbedaan Fisik yang kita lihat dan membuat asumsi macam2
tentang seseorang yang kita jumpa. Istilah Zaman doeloe, nggak perduli sama
“Hoding-nye” seseorang. Biasanya, kami selalu menghargai satu sama lain tanpa
melihat siapa orang ini. Yang penting Anak Muda MT ini sudah di Undang sama NIH
untuk mengevaluasi banyak Grant Proposal. Assumsi scientist di Amrik secara
general, kalau seseorang sudah di undang sama NIH untuk mengevaluasi proposal,
maka orang itu setidak tidak-nya punya isi di otak-nya. Kalau bahasa halus orang
Amrik, “He or She has something between the ears.”
Karena aku sering di
gabungkan dengan si MT mereview beberapa proposal, aku berasumsi bahwa bidang
dia secara garis besar sama dengan aku tapi bidang ke khususan-nya agak
berbeda. Asal aku bicara, dia selalu kelihatan senyum-senyum dan aku terkadang
berpikir “Apa ada yang salah yang ku ucapkan?” Ternyata, setelah giliran dia
berbicara sebagai second reviewer, dia sering setuju dengan apa yang saya
ucapkan dalam mereview beberapa proposals. Dalam hatiku, yang penting dia
sebagai Secondary Evaluator juga se-pemikiran dengan aku dan evaluasi ku cukup
on-the-spot dan nggak ngawur.
Jam 10 pagi, kami ada break
selama 30 menit dan anak muda MT ini mendatangi-ku sambil tersenyum untuk memperkenalkan
diri. Sambil mengulur tangan dia mengatakan “Apakhabar Bang? Sehat-sehat
semua?” Aku mengulur tangan untuk bersalaman sambil berkata, “Bah…. Kok Bisa
Bahasa Indonesia Kau?” sambil mengerutkan kening-ku. Dia menjawab, “Ha…ha… Aku
kan Anak Medan kayak Abang.” Ku-ulurkan
tangan ku sekali lagi untuk menjabat dia dan sambil mengatakan, “Dek…ceritakan
pengalaman-mu, kok bisa sampe ke Amrik dan jadi Associate Professor di
Perguruan Tinggi yang canggih disini.”
Akhir2-nya, 30 minute-pun
tidak cukup waktu untuk tukar cerita. Malam itu, kami berdua pergi makan malam
di salah satu restoran India di dekat Hotel kami. Kami ngobrol2 dari jam 7:00
sampe jam 11:00 malam dengan bertukar cerita dari Sabang sampai Merauke se akan
dia adik ku yang sudah lama hilang. Dia menerangkan bahwa orang tua-nya adalah
campur-baur Jepang-dan-Indonesia yang tinggal di Medan. Dia berasal dari USU
(S1) dan kemudian ke Jepang untuk meraih S3, dan kemudian melakukan Posdoctoral
Research di Amrik. Akhir2nya di tawarin sebagai Assistant Professor di
Universitas canggih di US. Sewaktu ketemu saya, dia sudah di kukuhkan setahun
sebelumnya menjadi Associate Professor dengan Tenure. Aku juga bercerita balik
tentang pengalaman ku belajar dan membangun karir di Amrik.
Aku sangat senang melihat
bahwa ada satu lagi produk S1 dari Universitas di Indonesia yang bisa berkompetisi
menjadi Professor di Universitas di Amrik. Belakangan ini, aku juga sudah
ketemu beberapa lagi Associate Professor yang sudah Tenure yang berasal dari
Indonesia.
Seperti yang sudah kita
ketahui, anak2 muda Indonesia tak kalah canggih dan pintar dibandingkan dengan
orang2 yang berasal dari Negara2 Asia lain, seperti Jepang, China, Korea, dan
India. Bebarapa decade lalu, hanya orang2 dari Jepang, India, dan China yang
mendapat posisi Tenured Professor di Amrik.
Maksud-ku menulis, untuk
memberikan semangat/motivasi/stimulasi ke anak2 muda Indonesia yang pengen
berkompetisi dan berkarya secara Global. Seperti pepatah yang pernah kudengar
di SD Methodist Jalan Hangtuah, Medan, “Kalau ada Kemauan Pasti Ada Jalan.”
That is the Real Truth!!!
Salam Damai dan Sejahtera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar