Sabtu, 26 Desember 2015

Perbandingan Berinteraksi Dengan Murid2 S3 dari Asia dan Amrik

Oleh: Zapheeker Sina Otto

Pengalaman ku mendidik murid2 S3 yang berasal dari Amrik sangat berbeda dengan murid berasal dari foreign countries atau Asia (China, India, Thailand, dan Indonesia). Murid dari Amrik walaupun secara "on paper" tidak kelihatan cemerlang, tetapi kalau diberikan tugas "research" mereka langsung bisa meng-organisasi-kan pikiran dan tujuan research mereka. Sebaliknya, murid dari foreign (China, India, Indonesia, Asian countries) biarpun diatas kertas dia "cemerlang,” kalau disuruh "berdikari" dia bengong-bengong dan pengen mendapat kan petunjuk dari kami (advisor-nya) setiap hari. Kayaknya murid2 ini pengen di tenteng tangan-nya terus-menerus dan tak berani melangkah dan mengambil keputusan. Mereka sebagai penurut bukan leader.

Murid2 dari Amrik, kalau experiment nya tak berhasil, dia langsung datang ke kami dan langsung mendiskusikan kegagalan-nya tanpa malu-malu dan dia langsung menerangkan kenapa menurut pendapat dia experiment ini tak berhasil. Biasanya dia memberikan beberapa potensial solusi2 yang mungkin bisa mengatasi problem2 yang dihadapi-nya. Murid dari Asia, kalau mereka experiment-nya tak berhasil, mereka malu dan tak berani datang berdiskusi. Jadi sebagai advisor, lebih sukar bagi kita untuk membantu mereka karena ke gagalan-nya selalu di sembunyikan; mereka takut di "cap" sebagai orang bodoh. Padahal menurut kami, kegagalan riset itu biasa2 saja.

Menurut opini-ku, murid2 ini merasa hidupnya selalu dalam suasana ujian; jadi takut gagal karena sudah terbiasa dengan kata2 "Jangan2..nanti..kamu..salah". Kesukaan murid2 dari Asia untuk diatur orang lain sangat jelas dan membudaya. Jadi sebagai advisor, kami harus bekerja keras untuk merobah pola pikir murid2 kami yang dari Asia ini.

Biasanya murid kami yang dari Asia suka menghafal walaupun mereka tak mengerti apa dasar2 atau asal-usul dari ilmu yang di-hafal. Biasanya saya bisa tebak langsung apa murid S3 ku (yang baru gabung group kami) tipe peng-hafal atau dia peng-ngerti (tidak peng-hafal). Secara singkat, biasanya di group meeting mingguan, murid2 memberikan presentasi hasil research mingguan. Kalau si peng-hafal ditanya pertanyaan yang sedikit mendalam ataupun melenceng dari yang di presentasi-kan nya, dia langsung bingung. Sebaliknya, si pengerti selalu kembali ke dasar ilmu dan meng-konstruksi-kan jawaban-nya berdasarkan pengalaman-nya dan ilmu2 dasar yang dia tau atau pernah baca. Kesimpulan-nya, si peng-hafal biasanya tak bisa mensynthesa apa yang sudah dihafalkan; sebalik-nya, si peng-ngerti selalu kembali ke dasar2 ilmu nya untuk menjawab pertanyaan kita. Jadi walaupun si "peng-ngerti" tak tau pasti apa jawaban yang benar, dia bisa mencoba men-synthesa jawaban-nya berdasarkan ilmu yang dia ketahui dan pengalaman-nya. Bisanys si pengerti tidak serba "Bull.S....t" atau BS. Biasa-nya si penghafal selalu "BS" kalau tak bisa menjawab; karena dia takut di bilang bodoh. Sebaliknya si peng-ngerti kalau benar2 mentok, bilang "I don't know the answer to the question and I will find out next time," tanpa "BS" atau "Sok Tau".

Kata kunci “well-rounded” yang penting di perhatikan dan ditekankan dalam pendidikan di Indonesia secara general. Terkadang di Indonesia, orang sangat terlena hanya dengan prestasi di kelas dan hanya mem-fokuskan ke sciences dan mathematika. Kita lupa bahwa “in real life” interaksi dengan disiplin2 lain sangat penting untuk kita bisa sukses. Jadi murid kita tidak hanya “expert” dalam bidang yang dia kejar, tetapi juga tahu sedikit-banyak (atau mengerti) seluk-beluk tentang bidang2 lain. Karena kalau kita kerja dimana-pun, kita butuh ber-interaksi dengan bidang2 lain, supaya projek kita bisa sukses. Kalau projek kita sukses, kita-pun sukses. Jadi yang disebutkan sebagai “Jurusan Primadona” ini tidak “relevant” lagi. 

Opiniku, “Students should have depth in their specific field and have “breath” in other fields.” Untuk sukses di “real world” murid ini harus punya interpersonal skills yang disokong dengan “oral” and “written” communication skills. Menurut pengalaman-ku, banyak kutemu-kan orang2 pintar tapi mereka ini tak sukses karena tak punya “interpersonal skills” dan mereka sukar bekerja sama dengan orang lain. Jadi mereka ini berondok di “Pigeon Hole” mereka dan bisa berinteraski dengan orang lain.

Seperti yang ku-sebutkan diatas, interpersonal skill dari guru dan murid bisa menyokong ke-bebasan murid ber-diskusi untuk membahas topik2 yang mereka geluti. Biasanya institusi atau department yang sukses, mereka mengadaptasi sifat ke-keluargaan dalam operasi sehari-harinya.

Inilah sedikit pengalaman ku sebagai advisor murid2 dari berbagai penjuru dunia. Untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, opiniku system pendidikan harus dirubah supaya tidak lagi menekankan hafalan tapi mendidik murid untuk mengerti dan menhayati apa yang di pelajari mereka. Kebiasaan takut salah harus di rubah sehingga kreatifitas murid lebih berkembang.

Salam damai dan sejahtera!

v.v
Grandfunk Railroad: Freedom is for Children
.

Minggu, 15 November 2015

Apa Gunanya Para Dosen Melakukan Research?


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Keaktifan staff pengajar (Dosen) di Perguruan Tinggi untuk melakukan research merupakan salah satu pendorong untuk menstimulasi kutur belajar yang dinamis di Perguruan Tinggi. Sayangnya, melakukan research membutuhkan dana yang cukup besar. Jadi mengharapkan dosen untuk melakukan research tanpa adanya dana dan fasilitas untuk menyokong aktifitas ini akan merupakan mimpi saja.

Dengan melakukan original research-lah dosen2 ini bisa menggunakan kemampuan berfikir untuk mendapatkan solusi dari tujuan research yang di kejar-nya. Dengan melakukan research, dosen ini akan berlajar "cutting edge science" di bidang yang ditekuninya. Melakukan research juga bisa merupakan alat untuk mendidik/mengajar mahasiswa supaya bisa memberikan kontribusinya yang positive ke masyarakat secara langsung dan tidak langsung dimasa depan

Dengan melakukan “original research,” para dosen mentranslasi hasil research yang ditekuninya dalam waktu dia mengajar di ruang kuliah. Jadi dosen ini tidak hanya bisa membaca text-book dan mem-beo-kan isi text-book ke murid nya. Yang diharapkan, dosen ini juga bisa meng-integrasi apa yang dia pelajari melalui research-nya ke mata kuliah yang diberikannya.

Keterlibatan murid-murid dalam melakukan research adalah salah satu pengalaman baik bagi mahasiswa untuk meng-applikasi apa yang sudah dipelajari-nya di ruang kuliah. Scientific intuition hanya bisa diasah dalam proses kegagalan-kegagalan yang banyak ditemukan sewaktu melakukan research yang dituju.

Salah satu tugas Perguruan Tinggi adalah untuk menstimulasi dosen dan melatih mahasiswanya untuk menjadi “pelajar sejati” dan bukan hanya bisa untuk men-transferkan informasi. Diharapkan, dosen2 bisa melatih para mahasiswa-nya bukan mejadi pem-beo informasi tetapi sanggup berpikir diatas kaki sendiri alias (He/She can think of their own two feet!).

Salam Damai dan Sejahtera!

v.v

Apakhabar Bang? …Bah… Kok bisa bahasa Indonesia Kau?


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Suatu hari aku berada di Washington DC karena di undangan oleh the National Institutes of Health akrab disebut NIH (baca: En Ai Ech) untuk mengevaluasi Proposal2 Science dari Institusi2 akademis dan research di seluruh US yang bernaung di bidang yang kupahami.  Biasanya, para evaluators (sekitar 15 orang) datang dari berbagai expertise dari institusi yang tersebar di US.  Kami dua hari menginap di Hotel dan bekerja dari Jam 7:30 pagi sampai Jam 6:30 sore untuk membahas sekitar 200 proposal2 yang masuk ke kelompok reviewer kami dari NIH.

Biasanya, setiap proposal diberi 3 evaluators yang disebut Primary, Secondary, dan Tertiary reviewers. Pada hari pertama aku menjadi Primary Reviewer dari sebuah proposal; sebagai Secodary Reviewer adalah Seorang Anak Muda yang kelihatan seperti orang Jepang dan bernama campuran Jepang dan Melayu yang kusebut MT.

Karena banyak orang di Amrik yang berasal-muasal dari berbagai penjuru dunia yang bercampur baur, kami tidak pernah memperhatikan perbedaan Fisik yang kita lihat dan membuat asumsi macam2 tentang seseorang yang kita jumpa. Istilah Zaman doeloe, nggak perduli sama “Hoding-nye” seseorang. Biasanya, kami selalu menghargai satu sama lain tanpa melihat siapa orang ini. Yang penting Anak Muda MT ini sudah di Undang sama NIH untuk mengevaluasi banyak Grant Proposal. Assumsi scientist di Amrik secara general, kalau seseorang sudah di undang sama NIH untuk mengevaluasi proposal, maka orang itu setidak tidak-nya punya isi di otak-nya. Kalau bahasa halus orang Amrik, “He or She has something between the ears.”

Karena aku sering di gabungkan dengan si MT mereview beberapa proposal, aku berasumsi bahwa bidang dia secara garis besar sama dengan aku tapi bidang ke khususan-nya agak berbeda. Asal aku bicara, dia selalu kelihatan senyum-senyum dan aku terkadang berpikir “Apa ada yang salah yang ku ucapkan?” Ternyata, setelah giliran dia berbicara sebagai second reviewer, dia sering setuju dengan apa yang saya ucapkan dalam mereview beberapa proposals. Dalam hatiku, yang penting dia sebagai Secondary Evaluator juga se-pemikiran dengan aku dan evaluasi ku cukup on-the-spot dan nggak ngawur.

Jam 10 pagi, kami ada break selama 30 menit dan anak muda MT ini mendatangi-ku sambil tersenyum untuk memperkenalkan diri. Sambil mengulur tangan dia mengatakan “Apakhabar Bang? Sehat-sehat semua?” Aku mengulur tangan untuk bersalaman sambil berkata, “Bah…. Kok Bisa Bahasa Indonesia Kau?” sambil mengerutkan kening-ku. Dia menjawab, “Ha…ha… Aku kan Anak Medan kayak Abang.”  Ku-ulurkan tangan ku sekali lagi untuk menjabat dia dan sambil mengatakan, “Dek…ceritakan pengalaman-mu, kok bisa sampe ke Amrik dan jadi Associate Professor di Perguruan Tinggi yang canggih disini.”

Akhir2-nya, 30 minute-pun tidak cukup waktu untuk tukar cerita. Malam itu, kami berdua pergi makan malam di salah satu restoran India di dekat Hotel kami. Kami ngobrol2 dari jam 7:00 sampe jam 11:00 malam dengan bertukar cerita dari Sabang sampai Merauke se akan dia adik ku yang sudah lama hilang. Dia menerangkan bahwa orang tua-nya adalah campur-baur Jepang-dan-Indonesia yang tinggal di Medan. Dia berasal dari USU (S1) dan kemudian ke Jepang untuk meraih S3, dan kemudian melakukan Posdoctoral Research di Amrik. Akhir2nya di tawarin sebagai Assistant Professor di Universitas canggih di US. Sewaktu ketemu saya, dia sudah di kukuhkan setahun sebelumnya menjadi Associate Professor dengan Tenure. Aku juga bercerita balik tentang pengalaman ku belajar dan membangun karir di Amrik.

Aku sangat senang melihat bahwa ada satu lagi produk S1 dari Universitas di Indonesia yang bisa berkompetisi menjadi Professor di Universitas di Amrik. Belakangan ini, aku juga sudah ketemu beberapa lagi Associate Professor yang sudah Tenure yang berasal dari Indonesia.

Seperti yang sudah kita ketahui, anak2 muda Indonesia tak kalah canggih dan pintar dibandingkan dengan orang2 yang berasal dari Negara2 Asia lain, seperti Jepang, China, Korea, dan India. Bebarapa decade lalu, hanya orang2 dari Jepang, India, dan China yang mendapat posisi Tenured Professor di Amrik.

Maksud-ku menulis, untuk memberikan semangat/motivasi/stimulasi ke anak2 muda Indonesia yang pengen berkompetisi dan berkarya secara Global. Seperti pepatah yang pernah kudengar di SD Methodist Jalan Hangtuah, Medan, “Kalau ada Kemauan Pasti Ada Jalan.”

That is the Real Truth!!!

Salam Damai dan Sejahtera
v.v

Clarence Bekker & Tara McDonald: What's Up
https://www.youtube.com/watch?v=nIHZovruq7s 

Professor …Oh…..Professor


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Belakangan ini tangan ku jadi gatal untuk menulis bagaimana sebenarnya seseorang bisa dapat gelar “Propesong” ..Oh ..sorry maksudku “Professor.”  Ini karena banyak kubaca tentang seorang yang terkenal menyanyi, bisa2 langsung jadi “Professor.” Kasian kali sama Professor2 Indonesia yang sudah sangat berjerih payah mengajar, meriset, dan mengabdi ke masyarakat. Sebenarnya aku nggak tau banyak tentang bagaimana seseorang mendapat gelar Professor di Indonesia. Kudengar-dengar calon Professor harus mengumpulkan nilai dengan batas tertentu.

Karena aku hanya tau system di Amerika, aku hanya bisa memberikan perspektif bagaimana seorang dosen mendapat gelar Professor di Universitas di US. Secara general, ada lima jenjang (Rank) Professor di Amerika: (1) Assistant Professor, (2) Associate Professor, (3) Full Professor (acapkali dipanggil Professor), (4) Distinguished Professor, dan (5) Emeritus Professor. Biasanya, seorang Professor memulai karir sebagai Assistant Professor Tenure Track. Tetapi ada juga gelar Professor yang non-tenure dan disini kita hanya mendiskusikan gelar Tenured Professor. Tidak seperti di Jepang, Assistant Professor di US tidak dibawahi oleh Associate Professor atau Full Professor. Seorang Assistant Professor adalah seorang Professor yang independent yang biasanya dalam jalur “Tenure Track” tapi belum mendapat Tenure (non-Tenure, dalam bahasa academic di Amrik).

Apakah yang dimaksud dengan Tenure?  Orang yang sudah Tenure berarti dia sudah terbukti becus/layak atau wajar untuk memegang posisinya sebagai Associate atau Full Professor. Jadi biasanya, seorang Assistant Professor (non-Tenure) itu diberikan 5 tahun untuk menjadi Associate Professor  dengan Tenure. Kalau selama 5 tahun dia tak bisa membuktikan kemampuan-nya, maka Assistant Professor ini akan di pecat dari Universitas nya karena dia tidak diberikan status Tenure. Kalau dia sudah di pecat oleh salah satu Universitas, maka biasanya Universitas manapun tidak akan menerima dia sebagai Tenure Assistant Professor. Jalan keluarnya, Assistant Professor yang gagal mencari kerjaan di Industri.

Untuk mendapatkan Tenure, seorang Assistant Professor harus menunjukkan kemampuannya mengajar-nya (Teaching). Assistant Professor ini di evaluasi oleh murid2 yang diajarnya dan juga oleh Professor2 Senior lain (Associate atau Full Prof.). Sudah ada standard evaluasi mengajar yang ditentukan oleh departemen dimana Assistant Professor tersebut mengajar. Kedua, Assistant Professor ini harus melakukan riset yang original yang di publikasikan di Journal International. Mereka juga harus berkompetisi untuk mendapatkan dana riset dari Institusi Negara ataupun Foundations untuk mendanai riset-nya. Ketiga, dia harus melakukan pengabdian masyarakat secara Local, Regional, National, dan International.

Setiap tahun, Assistant Professor akan di review oleh semua Associate, Full, dan Distinguished Professors dalam Mengajar, Meriset, dan Mengabdi (Tridharma Perguruan Tinggi). Setelah tiga tahun, dia di review di tingkat departemen atau tingkat Fakultas (atau misalnya School of Engineering).  Kalau ada kekurangan kekurang-nya harus di pebaiki selama dua tahun sebelum waktu 5 tahun-nya habis.

Setelah lima tahun, dia harus mengajukan kasus Tenure nya yang harus didukung oleh tingkat Departemen dan Fakultas. Berkas2 mengajar, meriset, dan mengabdi di kirim ke 10 Professor di luar universitas nya untuk dinilai layak untuk mendapat Tenure dan dipromosikan ke Associate Professor. Penilaian dari luar universitas harus 80% positive, kalau tidak kemungkinan bisa gagal untuk maju ke tingkat Universitas. Setelah berkasnya dimajukan ke tingkat Universitas, maka ada lagi review oleh Tenure Committee di tingkat Universitas. Setelah lulus ditingkat ini, maka seorang Assistant Professor di kukuh kan untuk menjadi Associate Professor dengan Tenure. Kalau seseorang sudah dapat Tenure biasanya dia tidak lagi bisa dipecat oleh Universitas (alias kebal); asalkan dia tidak melakukan sesuatu yang tak-legal (Illegal).

Untuk menjadi Full Professor dari Associate Professor tahapan dan process nya sama seperti dari Assistant ke Associate Professor. Bedanya adalah sarat2 untuk naik pangkat ini lebih berat. Untuk menjadi Professor, seseorang harus terkenal di dunia tentang yang di riset-nya; salah satu cara menilainya adalah dengan mengevaluasi publikasi2nya di International Journals dan undangan2 memberi kuliah di kancah International. Terkadang ada Associate Professor yang tidak akan naik2 pangkat ke Full Professor sampai pensiun. Gelar Distinguished Professor biasa nya hanya diberikan ke sebagian kecil dari Full Professor yang karirnya sangat2 cemerlang dan terkenal di seluruh dunia di bidang Mengajar, Meriset, dan Pengabdian Masyarakat. Emeritus Professor adalah Professor yang sudah pensiun tetapi masih aktif di departemen nya dengan mendapat fasilitas kerja seperti sebelumnya tetapi tanpa menerima gaji dari Universitas.

Tulisan ini hanya memberi illustrasi dari satu sisi bahwa process untuk menyandang gelar “Professor” itu tidak mudah dan mempunyai standard tertentu. Di US, gelar Professor tidak perlu di syahkan oleh Mentri Pendidikan karena Universitas bersangkutan berhak memberikan Gelar2 Assistant, Associate, Full, dan Distinguished Professors karena Universitas ini sudah ter-akreditasi oleh Departemen Pendidikan di US.

Mudah2an aku bisa memberikan perspektif sedikit, jadi nggak usah datang ke US untuk studi banding tentang Professor dan ngabisin uang pajak keringat orang lain.

Salam Sejahtera dan Damai!

Mengajar Di Kampung Orang Dengan Bahasa Mereka


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Sebagai “Teaching Assistant (TA),” aku mengajar laboratori kimia untuk murid2 S1 tiga kali seminggu (Senin, Rabu, dan Jumat). Mengajar di Amrik dengan bahasa Inggris yang bukan bahasa Ibuku (native language) sangat menguras energi yang cukup tinggi.  Di laboratori, aku harus berinteraksi secara intesif dengan sekitar 30 murid2 orang Amrik selama empat jam. Walaupun di Indonesia aku pernah bertugas sebagai laboratori Asisten, mengajar laboratory di Amrik sangat berbeda dan lebih sukar dari sebagai Asisten di universitas di Indonesia. Di Indonesia, setiap laboratori di awasi oleh satu atau dua Dosen pengawas dan empat laboratori Asisten; sebaliknya, seorang “Teaching Assistant” seperti aku di Amrik, mengajar 30 murid2 sendirian. Tugas-ku sebagai asisten untuk mengajar mereka tentang teori2 dasar dari experiment yang akan mereka lakukan dan mengawasi mereka sewaktu melakukan experiment.  

Selain mengawasi murid2 melakukan experiment, aku juga harus memeriksa dan menilai laporan2 murid2 ini. Menilai laporan2 mereka memakan waktu yang cukup banyak karena aku memeriksa sekitar 90 laporan per minggu. Sebagai anak Indonesia yang baru datang ke Amrik dan baru menggunakan bahasa Inggris secara intesif setiap hari, aku merasa sangat lelah setelah selesai mengajar laboratori. Untuk mempersiapkan mengajar laboratori, aku membutuhkan waktu tiga kali lipat dibandingkan anak2 Amrik, karena  mereka “Native English Speakers.” Sebagai TA kami mendapat gaji untuk biaya hidup dan disamping mengajar akupun harus mengambil kuliah mata pelajaran S3 dan melakukan riset untuk dissertation ku.

Suatu hari di laboratori, aku menerang-kan reaksi kimia yang akan kami lakukan sore itu. Sambil ngomong, aku menulis di papan tulis, “Add phenol dan NaOH.” Lalu salah satu murid ku bertanya , “Mr. Jabilik, what is “D…A…N”? (translasi: Apa arti kata ”D..A..N” itu?).” Rupanya otak-ku masih berlanglang buana di Medan.  Kutepuk jidad-ku dan berkata, “I am so sorry. I meant to say “Add phenol and NaOH (translasi: tambah fenol dan NaOH.” Kemudian kujelaskan bahwa kata “D…A..N” dalam bahasa Indonesia sama dengan kata “A…N...D” dalam bahasa Inggris. Lalu murid2ku pada ketawa tebahak bahak.

Setelah beberapa bulan berlalu, aku pun terbiasa mengajar dengan meggunakan bahasa Inggris. Adaptasi bahasa sehari hari memang memakan waktu, aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa, “You know that you have naturally adopted a language when you are currently dreaming in that particular language even though the situation of your dream occurs in your native country.” Tanslasi bebas: Anda menyadari bahwa anda sudah sepenuhnya mengadaptasi bahasa asing kalau anda bermimpi dengan menggunakan bahasa asing tersebut walaupun situasi yang dalam mimpi anda berada di kampong halaman anda. Ini memang betul2 ku alami. Setelah aku enam bulan di Amrik, aku selalu bermimpi ber-kongkow-kongkow dengan sanak saudara di Indonesia, tetapi di mimpi ini kami semua memakai bahasa Inggris walaupun aku tau mereka nggak bias berbahasa Inggris.

Sangat menarik kalau di pikir2 bagaimana otak kita bisa berkerja dalam mentranslasi informasi di bahasa2 yang kita ketahui.

Salam Sejahtera dan Damai!

v.v


Mengajar, Riset, dan Pengabdian Masyarakat (Teaching, Research, Service)


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Ditulisan ini, aku mencoba memberikan perspektif (My two cents) tentang Perguruan Tinggi (PT) dari sisi pengalaman di Amrik yang juga menggunakan Tridaharma PT dengan menjalankan keseimbangan antara Mengajar (Teaching), Riset (Research) dan Pengabdian Masyarakat (Service). Setiap Professor di PT di Negeri mempunyai tugas melaksanakan Tridharma PT dan juga untuk mendidik mahasiswanya supaya bisa memberikan kontribusinya yang positive ke masyarakat secara langsung dan tidak langsung dimasa depan.

Mengajar (Teaching):

Mengenai Teaching, terkadang pengajar (Dosen) bisa terjebak dalam proses yang hanya peduli untuk melimpahkan materi-materi yang di sebutkan di kurikulum dengan tanpa peduli apakah mahasiswa kita bisa menyerap dan menganalisa materi-materi yang diberikan. Dalam hal ini, dosen bisa membuat situasi "information overload" ke mahasiswanya. Menurut pengalaman, Power Point (PPT) presentation bisa menjadi salah satu penyebab dari "information overload" dan mahasiswa yang hanya pasif mendengar dosen di depan kelas (seperti nonton TV). Apalagi kalo pelajaran yang pake banyak rumus2 (equations). Studi di Amerika Serikat menunjukkan adanya kecenderungan bagi mahasiswa untuk tidak bisa lagi untuk mencatat pelajaran kuliah "note taking" karena banyak Professors yang memberikan fotokopi power point nya ke mahasiswa. Ini bukan berarti memberikan kuliah dengan Power Point adalah metode yang tidak baik; sebaiknya, Power Point presentation di kombinasikan dengan diskusi dan problem solving session untuk mengasah analytical skills dari mahasiswa kita.

Menurut pengalaman ku, sebagian dari murid S3 (PhD candidate) yang baru diterima di department kami biasanya mengalami "adjustment period" dalam metode belajarnya. Ini disebabkan oleh metode pengajaran di undergraduate yang selalu memberikan informasi yang sifat nya "information dumping.” Akibatnya murid-murid hanya bisa mem-beokan (regurgitate) apa yang sudah dihafalkannya tanpa bisa menjelaskan latar belakang informasi yang di-beo-kannya. Biasanya kita bisa cepat mengidentifikasi kalau murid ini hanya pembeo. Kalau kita memberikan persoalan yang membutuhkan synthesa dari dua atau tiga theori dia langsung mentok!!! dan tidak bisa mensynthesa theori-theori dasar yang harus digunakan untuk menyelesaikan "problem" yang diberikan. Jadi diharapkan, dosen bisa melatih mahasiwanya untuk bisa memecahkan persoalan baru yang mahasiswa tersebut belum pernah dengar.

Riset (Research):

Keaktifan pengajar di PT melakukan research merupakan salah satu pendorong untuk menstimulasi culture belajar yang dinamis di PT. Sayangnya, melakukan research membutuhkan dana yang cukup besar. Jadi mengharapkan dosen untuk melakukan research tanpa adanya dana dan fasilitas untuk menyokong aktifitas ini akan merupakan mimpi saja. Peranan research adalah sangat penting, karena dengan melakukan research-lah dosen-dosen ini bisa menggunakan kemampuan berfikir utuk mendapatkan solusi dari "research problem" yang di kejar-nya. Dengan melakukan research, dosen ini akan berlajar "cutting edge science" di bidang yang ditekuninya.

Dengan melakukan “original research,” para dosen mentranslasi yang ditekuninya dalam waktu dia mengajar di ruang kuliah. Jadi dosen ini tidak hanya bisa membaca text-book dan mem-beo-kan isi text-book ke murid nya. Yang diharapkan, dosen ini juga bisa meng-integrasi apa yang dia pelajari melalui research-nya ke mata kuliah yang diberikannya. Keterlibatan murid-murid dalam melakukan research adalah salah satu pengalaman baik bagi mahasiswa untuk meng-applikasi apa yang sudah dipelajari-nya di ruang kuliah. Kearifan intuitif hanya bisa diasah dalam proses kegagalan-kegagalan yang banyak ditemukan sewaktu melakukan research yang dituju.

Pengabdian Masyarakat (Service):

Salah satu “role” yang penting dari PT adalah pengabdian masyarakat seperti bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Contohnya, PT bisa membantu “economic development” dengan melakukan research atau kolaborasi dengan industri untuk mengembangkan produk atau process tertentu dengan tidak menghambat pendidikan mahasiswa. Kolaborasi industri “can be tricky, but it can be done”, karena industri is motivated by profit. Contoh lain, research di university bisa ditujukan untuk menigkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung (e.g., medicine) dan secara tidak langsung (e.g., development of catalyst, enzyme atau chemical process). PT bisa juga megorganisir symposium and short-courses yang bisa membantu komunitas sekitar-nya untuk meningkatkan pengetahuan dan pendidikan di bidang tertentu. Salah satu contoh, PT bisa mengajak guru-guru SMA di bidang science (i.e., kimia, fisika) untuk melakukan research di PT bersama-sama dalam waktu singkat (3 bulan). Pengalaman ini bisa meningkatkan kualitas pengajaran science di SMA.  Keterlibatan mahasiswa dalam "service component" ini juga merupakan salah satu aspek pendidikan dari mahasiswa kita. Keterlibatan dalam service aspek dapat membuka pemikiran mahasiswa kita diluar bidang yang dipelajarinya (i.e., improving organizational, communication and interpersonal skills).


Akhirnya, motivasi seseorang untuk masuk perguruan tinggi memang ber-beda-beda. Kenaikan pangkat atau jabatan seseorang yang tidak berdasarkan kemampuan-nya tetapi berdasarkan gelar yang disandang mungkin merupakan salah satu motifasi seseorang untuk mendapatkan gelar dari PT. Yang diharapkan, seorang sarjana (penyandang gelar) harus bisa mempertahankan gelarnya di tempat dimana dia bekerja dan di masyarakat. Jadi dia menyandang gelar bukan hanya “on paper.” Salah satu tugas PT adalah untuk menstimulasi dan melatih mahasiswanya untuk menjadi “pelajar sejati” dan bukan hanya bisa untuk men-transferkan informasi. Diharapkan, mahasiswa-mahasiswa ini bukan pem-beo informasi tetapi sanggup berpikir dibawah kaki sendiri (can think on their feet!!!).

Salam Sejahtera!!

v.v


Menghafal vs. Mengerti (Memorizing vs. Comprehending)


Oleh: Zapheeker Sina Otto

Setiap Dosen di perguruan tinggi (PT) mempunyai tugas untuk mengajar dan mendidik mahasiswanya. Terkadang, Dosen bisa terjebak dalam proses yang hanya peduli untuk melimpahkan materi-materi yang di sebutkan di kurikulum dengan tanpa peduli apakah mahasiswa kita bisa menyerap dan menganalisa materi-materi yang diberikan.

Dalam hal ini, dosen bisa membuat situasi "information overload" ke mahasiswanya. Power Point (PPT) presentation bisa menjadi salah satu penyebab dari "information overload" dan mahasiswa yang hanya pasif mendengar dosen di depan kelas (seperti nonton TV).

Apalagi kalo pelajaran yang pake banyak rumus2 (equations). Ada hasil studi di Amerika Serikat menunjukkan adanya kecenderungan bagi mahasiswa untuk tidak bisa lagi untuk mencatat pelajaran kuliah "note taking" karena banyak Professors yang memberikan fotokopi power point nya ke mahasiswa.

Ini bukan berarti memberikan kuliah dengan Power Point adalah metode yang tidak baik; sebaiknya, Power Point presentation di kombinasikan dengan diskusi dan problem solving session untuk mengasah kemampuan analytical dari mahasiswa kita.

Menurut pengalaman, sebagian dari murid S3 yang baru diterima di department kami biasanya mengalami "waktu penyesuai-an" dalam metode belajarnya. Ini disebabkan oleh metode pengajaran di undergraduate yang selalu memberikan informasi yang sifat nya "information dumping.” Akibatnya murid-murid hanya bisa mem-beokan (regurgitate) apa yang sudah dihafalkannya tanpa bisa menjelaskan latar belakang informasi yang di-beo-kannya.

Biasanya kita bisa cepat meng-identifikasi kalau murid ini hanya pem-beo. Kalau kita memberikan persoalan yang membutuhkan synthesa dari dua atau tiga teori dia langsung buntu berfikir dan tidak bisa mensynthesa teori-teori dasar yang harus digunakan untuk menyelesaikan "problem" yang diberikan.

Diharapkan, seorang dosen bisa melatih mahasiwanya untuk mensyntesa bebarapa teori2 sudah dipelajari-nya untuk bisa memecahkan persoalan baru yang mahasiswa tersebut belum pernah dengar sebelumnya.

Salam Damai dan Sejahtera!

v.v

Jumat, 30 Oktober 2015

Bah….Bukan Orang Batak Saja, Orang Amrik-pun Punya Logat!!


Oleh: Zepheeker Sina Otto


Setiap hari jumat pagi, semua “Teaching Assistant (TA)” ber-kumpul untuk mendikusi-kan experiment yang akan dilakukan minggu depan dan pengalaman2 laboratori yang kemungkinan bisa membuat murid kesulitan melakukan experiment mereka. Koordinator semua laboratory ini adalah Dr. Steve B (SB). Kalau menurut orang Amrik, SB is an Interesting Character (translasi bebas: Steve B adalah orang yang unik atau eksentik). Steve adalah orang putih (Caucasian) yang tinggi dan besar yang berumur sekitar 40-an dan berambut panjang yang ditocang sampai dibawah pundak dan jenggot-nya pun panjang.  Penampilan Steve sehari-hari seperti pemain gitar dari “ZZ Top” dengan T-shirt hitam, denim jeans, Western bolero ties, cowboy hat, dan cowboy boots. Walaupun penampilan-nya yang sangat sangar, secara individu Steve sangat professional dan selalu siap membantu kami2 bawahan-nya sebagai TA. Waktu itu, aku satu group diskusi dengan Jim W dan Wes McC (dipanggil “Wes”) yang di pimpin oleh Steve


Gambar 1. Salah satu pemandangan di taman seorang Farmer di Midwest


Jim adalah teman baik ku di laboratory Professor RBB. Kami berdua melakukan riset dibawah superfisi Prof. RBB dengan tujuan jangka panjang riset kami yang sama tetapi berbeda tujuan jangka pendek dan pendekatan. Prof. RBB ingin membuktikan “Hipothesa” unggulan-nya dengan beberapa cara dan kami berdua sebagai orang2 yang mengetest hypothesa tersebut. Jadi, aku dan Jim selalu berdiskusi tentang  kami. Karena Jim adalah senior-ku (dua tahun diatas-ku), dia secara tak langsung menjadi “mentor-ku” di laboratory dan dia juga menjadi sahabatku se-hari2. Aku selalu bertanya tentang laboratori techniques ke Jim.

Jim adalah orang putih yang berbadan tinggi dan kekar dengan mata biru dan rambut pirang-keriting yang panjang-nya sebahu dan mukanya didekorasi dengan kumis Fumanchu. Karena kami selalu jalan2 kemana-mana ber-dua kalau ada acara2 ekstrakurikuler di departemen Kimia, kami berdua kelihatan seperti David dan Goliath yang jalan bersama. Teman2 graduate students dari jurusan kami selalu bercanda menamakan kami dua sebagai “The Giant and the Troll”; Jim sebagai the “Giant” dan aku sebagai the “Troll.” Karena kami bersahabat, aku sering di undang oleh Jim dan Istri-nya makan malam di apartemen mereka sebelum kami kembali ke laboratori melakukan riset sampai tengah malam. Sampai sekarang kalau aku ke Negara Bagian dimana Jim berada, aku pasti menemui Jim di universitas dia bekerja.

Kembali ke “weekly meeting” dari TA, aku sangat binun alias bengang-bengong tak megerti kalau kawan kami Wes berbicara untuk mendiskusikan tentang laboratori prosedur yang akan kami lakukan minggu depan. Kalau dia berbicara, telinga-ku mendengar kata2nya seperti ucapan orang yang ber-kumur-kumur. Kupikir, aku rupanya masih perlu lagi belajar banyak tentang bahasa inggris. Hampir sebagian besar dari presentasi si Wes aku nggak mengerti, rasanya aku mendengar suara tawon yang mendengung ditelinga ku. Karena Jim duduk di sebelah ku, aku berbisik kedia, “Jim, aku nggak ngerti sama sekali dengan kata2 sama yang diucapkan si Wes.” Kemudian Jim berbisik menjawab, “Jab, bukan hanya kamu yang sulit mengerti ucapan si Wes. Dia mempunyai “Logat Southern”. Mendengar ucapan Jim, akupun agak terhibur sedikit karena agak sukar rasanya (sedikit frustrasi ke diri sendiri) mendengar seseorang berbicara tapi kita nggak ngerti apa yang diperbincangkan-nya.

Setelah petemuan selesai, Jim dan aku kembali ke laboratori kami. Ku bilang ke Jim, “Kukira karena aku orang Indonesia dan bahasa Inggris ku nggak becus, aku nggak ngerti apa yang Wes ucapkan.”

Kemudian Jim berkata, “Jab, akupun sukar mengerti apa yang diucapkan Wes karena dia mempunyai logat Southern (Orang Selatan) yang sangat kental. Aku lebih gampang mengerti kata2 yang kau ucapkan dari yang diucapkan oleh Wes. Kita harus membiasakan mendengar logat si Wes supaya kita bisa mengerti apa yang dia katakan." Wes adalah orang yang berasal dari Negara Bagian Alabama di Selatan Amrik yang mempunyai logat kental; kalau kata orang Amrik, “He is a southern man with a southern drawl.”

Jim kemudian menjelaskan bahwa di Amrik banyak logat berbicara yang ber-beda2 tergantung asal-usul dari bagian Eropah mana nenek moyang mereka datang. Ada logat berbicara seperti New England accent dari Massachusetts seperti John F. Kennedy. Ada logat Southern Drawl dari Louisiana, Alabama, Texas. Ada pula logat New Yorker yang kayak orang Batak yang ceplas ceplos dan straight-to-the-point. Di tengah2 Amrik ada yang disebut logat Midwestern di sekitar negara bagian Missouri, Kansas, Nebraska dan Oklahoma. Ada logat dari Minnesota dan Wisconsin yang dipengaruhi oleh logat German dan Swedish. Ada logat2 yang gampang di mengerti dan ada yang sukar di mengerti. Aku-pun menerangkan ke Jim bahwa di Indonesia pun ada logat Batak yang kasar dan logat Jawa Tengah yang halus. Jim tersenyum dan berkata, “Perbedaan membuat hidup ini menarik. Bukankah Demikian?” Satu kalimat dari Jim ini memperluas wawasan-ku.

Setelah beberapa bulan berlalu, aku pun terbiasa mendengar logat si Wes dan mengerti semua apa yang dia perbincangkan-nya. Rupanya, dengan sedikit berusaha aku pun bisa mengadaptasi untuk mendengar dan mengerti ucapan2 si Wes. Aku tak harus memaksa si Wes untuk merubah logat-nya. Aku tak pernah lupa dengan ucapan si Jim, “Perbedaan membuat hidup ini menarik. Bukankah Demikian?” Bah, biarlah kupake terus logat Batak-ku, akupun tak perlu takut. I am who I am!!

Salam Sejahtera!!

v.v

Rabu, 28 Oktober 2015

Malu Bertanya Akan Sesat Di Jalankah?



Oleh: Zaphekeer Sina Otto


Aku tergugah membaca sebuah artikle dari seorang murid di Indonesia yang menulis bahwa dosen-nya meninggalkan ruangan kuliah setelah salah seorang murid bertanya tentang perbedaan kelas yang diajarkan-nya dengan kelas lain. Bukankah ada pepatah mengatakan “Malu Bertanya Sesat Di Jalan” Aku berpikir, dalam konteks ruang kuliah, “Is there any question as a stupid question?” (Apakah ada pertanyaan yang goblok?).


Gambar 1. Suasana taman disekitar University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Aku juga teringat waktu masih mahasiswa S1 dulu di Jakarta, aku selalu takut untuk bertanya karena merasa takut dibilang bodoh oleh para dosen-ku. Acap kali (Note: Nggak Semua Dosen Lho!!), sang Dosen suka marah2 ke murid (alias “Defensive”) kalo dia harus menjawab pertanyaan-nya nggak di sukai-nya. Karena takut nggak lulus, aku selalu ber-hati2 kalo berhadapan dengan Dosen “Killer” yang selalu sangar, sempurna, dan tak pernah bisa salah. Tak jarang terdengar ucapan dari Dosen “Killer” dengan nada sebagai berikut, “Kalian hanya bisa dapat angka 7, saya sebagai Dosen hanya bisa maximum dapat angka 8, Malikat maximum dapat angka 9, dan hanya Tuhan yang bisa dapat angka 10.” ……Seram kali Bah!


Gambar 2. Gedung Fakultas Sains di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.



Gambar 3. Lorong di Institute Biologi, University of Campinas (UNICAMP), Brazil.


Mengingat balik, aku hanya bisa tersenyum-senyum berfikir kenapa yah Dosen bisa2nya megucapkan kata2 seperti itu? Memang kami murid2nya bukan orang sempurna, tapi Dosen-pun kan sama juga dia juga nggak ada yang sempurna.


Gambar 4. Taman di tempat penginapan pengajar tamu di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Pada semester pertama di program pasca sarjana di US, aku juga selalu bungkem dan takut bertanya karena takut salah. Tapi heran, Professor2 kami selalu sabar menjawab semua pertanyaan teman sekelas walaupun pertanyaan-nya sangat mendasar atau kelihatan-nya seperti petanyaan yang sangat dangkal. Para pengajar ini tak pernah tak mau menjawab pertanyaan dan juga tidak pernah menunjukkan nada meremeh-kan (“condescending”) ke murid-nya.



Gambar 5. Kolam renang di tempat penginapan pengajar tamu di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Rupanya, pertanyaan tersebut men-stimulasi Professor itu untuk berpikir dan menjawab secara systematis supaya murid-nya nggak sesat di jalan belajar-nya. Akupun merasa malu dalam hati karena sudah menghakimi teman sekelas-ku yang ku anggap bertanya pertanyaan-nya yang sangat dangkal. Lambat laun, aku baru mengerti apa hakekat untuk bertanya dan belajar mengkostruksi sebuah pertanyaan yang baik (How to ask a good question). “How to ask the right or good question” adalah sesuatu yang kelihatan-nya gampang tapi sebenar-nya sukar dilakukan.

Karena sudah menghakimi teman sekelas (dalam hati), aku sadar dan mengingat nasehat mentor-ku, “In this life, don’t assume anything, get the facts straight!” (“Dalam hidup ini, jangan selalu membuat assumsi (ber-andai2), cari fakta2-nya yang benar dan lurus!”). Kejadian2 ini sudah menebas keangkuhan-ku waktu itu dan mencoba kedepan supaya bisa berpikir lebih jernih and kritis.


Gambar 6. Pemandangan ke arah universitas dari tempat penginapan pengajar tamu di University of Campinas (UNICAMP), Brazil.

Suatu hari, teman sekelas bertanya ke Professor kami; sang Professor rupanya nggak tau jawaban dari pertanyaan ini.  Setelah berfikir sejenak, Professor kami menjawab, “I have never thought of that question. I don’t know the answer to your question. I will find out the answer for you next time we meet.” (“Saya belum pernah mikirin jawaban pertanyaan anda itu. Saya nggak bisa menjawab pertanyaan anda saat ini. Nanti saya cari jawaban-nya dan akan saya jabarkan ke anda semua pada waktu kita ketemu lagi nanti.”). Dalam hatiku, “Bah….…Professor kok berani-berani bilang nggak tau jawaban pertanyaan murid-nya. Apa dia nggak takut dia nanti dia dibilang nggak becus sama murid2-nya!!”

Setelah kami bertemu lagi, Professor kami membagikan sebuah artikel kesemua murid2 dikelas; kemudian, dia menjawab pertanyaan murid yang belum di jawab-nya. Dia menjabarkan semua fakta2 yang mensupport jawaban-nya. Artikel yang dibagikan ke kami adalah salah satu artikle yang menjawab pertanyaan murid tersebut.  Lagi2 alasan-nya, Professor ini nggak mau sembarangan menjawab pertanyaan murid-nya (Istilah di Amrik, “He/She does not want to wing it!” atau “Nggak mau asal jawab!”) karena dia tidak mau menyesatkan murid2-nya dalam menggali ilmu.  Yang jelas, kami se-kelas (termasuk Professor kami) belajar hal baru yang asal-muasal-nya dari pertanyaan seorang murid.

Sebagai manusia sudah lumrah kalau aku selalu membanding2kan diri dengan orang lain. Mungkin, ini karena aku ingin mengangap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Atau, aku secara jujur pengen belajar dari orang yang lebih baik tersebut.  Tapi yang tak bisa kupungkiri, teman2 sekelas orang Amrik rupanya sudah terlatih dari kecil bahwa mereka tak takut bertanya dan tak takut diketawaiin kalau pertanyaan mereka dianggap dangkal. Mereka nggak takut dicap dengan, “Huh…What a stupid question? (Huh…Itu petanyaan yang begok?).” Ini disebabkan para Guru selalu ber-prinsip, “There is no question is a stupid question” (Nggak ada pertanyaan yang di kategorikan sebagai petanyaan begok). Alasan-nya, seorang Murid, Guru, Dosen, dan Professor adalah manusia biasa2 dan tak mungkin dia mengetahui segala-gala-nya. Untuk mendapat jawaban yang se-akurat mungkin, seseorang harus ber-hati2 menjawab pertanyaan dengan melihat fakta2 yang ada.

Mengingat kembali ke-angkuhan-ku waktu sebagai pelajar, aku hanya bisa tersenyum-senyum sadar. Banyak keangkuhan2-ku yang sudah ditebas sejajar dengan tanah oleh pengalaman dan waktu. Aku sadar bahwa, aku sebagai murid dan pengajar bukan orang yang sempurna. Yang jelas sekarang setelah menjadi orang yang tugas-nya sebagai pendidik/pengajar, aku selalu berusaha untuk melatih dan mendidik murid2-ku untuk bisa menanyakan pertanyaan yang tepat dan jitu alias “How to ask the right or good question!”  Aku mencoba mendidik mereka untuk selalu mengecek semua jawaban2 mereka dengan fakta2 yang ada (Get the Fact Straight!! and “Don’t Just Wing It! (kayak politician)”).  

Yang pasti, aku sendiri masih percaya dengan pepatah yang kudengar waktu SD, “Malu Bertanya Sesat Di Jalan!”

Salam Sejahtera dan Damai!

v.v